Dualisme pandangan logika vs rasa, rasional vs emosional
sudah lama berkembang dalam sejarah kemanusiaan. Umum dipahami orang bahwa
pandangan Barat identik dengan logika sedangkan Timur lebih mengedepankan rasa.
Dalam konteks yang lain dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak menggunakan
logika rasional dalam penyelesaian masalah sedangkan wanita lebih dominan dalam
emosional. Seakan-akan logika dan rasa, rasional dan emosional terpisahkan
bahkan terkadang dipertentangkan. Kita bisa cermati bagaimana perbedaan
mencolok hasil karya (budaya) antara Barat dan Timur. Dalam hubungan
interpersonal, dominasi laki-laki dengan logikanya juga pernah tercatat dalam
sejarah terpinggirkannya peran kaum wanita. Muncul kemudian perjuangan
kesetaraan gender.
Seiring interaksi dan keterbukaan untuk saling memahami
potensi yang selama ini dibedakan dan dipertentangkan justru banyak usaha
dilakukan untuk memadukan keduanya. Potensi kognitif dan afektif dipadukan
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Wanita menjadi kepala Negara sudah biasa,
menteri apalagi. “Perkawinan” ilmu Barat dan ilmu Timur nyatanya menghasilkan
manfaat yang lebih besar. Spiritual Timur dengan olahan logika Barat
menghasilkan berbagai teknik terapi dalam dunia psikologi. Logika Barat yang
cenderung materialisme mau tidak mau menjadi semakin mendekati spiritual dan
transendental.
Richard J.Davidson dari Universitas Wisconsin, Madison
mengemukakan pandangan baru tentang perlunya Affective Neuroscience.
Selama ini yang dikenal dalam dunia ilmu psikologi dan neurologi adalah Cognitive
Neuroscience. Berbagai perilaku manusia diyakini merupakan reaksi dari
penterjemahan stimulus yang ada di lingkungan oleh potensi kognitif yang ada di
otak. Padahal, sangat dimungkinkan sebelum muncul tanggapan terjadilah dialog
antara potensi kognitif (rasional) dengan afektif (emosional). Ketika
seseorang, katakanlah berhadapan dengan harimau, apakah dia menghindar atau
malah mendekati ditentukan dari dialog kognitif dan afektif. Lari menghindar
merupakan hasil dari logika ‘berbahaya’ dan rasa ‘takut’.
Davidson mengemukakan berbagai kajian bahwa bagian-bagian
otak tidaklah secara khusus hanya mengurus kognitif saja atau hanya mengurus
afektif saja. Prefrontal cortex (PFC) misalnya yang selama ini dikatakan
hanya berhubungan dengan potensi kognitif ternyata memiliki peran besar dalam
mengatur emosi. Dia menegaskan peran penting pelibatan afektif dalam analisis
kognitif. Tanpa afektif, kognitif hanya akan menjadi gerak tanpa kendali
sedangkan afektif tanpa kognitif hanya akan menghasilkan respon yang primitif.
Hal yang mencengangkan para ilmuan adalah pandangan bahwa
pusat rasa ternyata bukan terletak di otak tetapi di hati (jantung). Bahkan,
hati disebut sebagai pusat dari segala tindakan. Hati mengirim isyarat kepada
otak, mengenai hormon, endorphin, atau zat-zat kimia yang dibutuhkan tubuh.
Hati menyebarkan informasi ke otak dan berbagai bagian tubuh dengan perantaraan
emosi (perasaan). Dalam hati (jantung) ditemukan juga medan elektrik yang daya
sinar elektriknya (EKG) mencapai 60 kali lipat dibanding sinyal elektrik otak
(EEG). Sedangkan medan magnet yang dipancarkan mencapai 5.000 kali lebih kuat
dibading medan magnet yang ditimbulkan otak. Medan elektrik dan medan magnet
jantung akan semakin besar dan mempengaruhi tubuh seiring kuatnya emosi dan
keyakinan seseorang. Jangan heran ketika suatu kali jantung anda merasa
deg-degan (berdetak lebih cepat) saat bertemu ada orang asing, barangkali
jantung anda menangkap getaran jahat (mungkin dia seorang copet). Mungkin
pernah mengalaminya lalu dengan segera anda menghindar dari orang tersebut?
Wajar kemudian hati dikatakan sebagai pusat dari segala
rasa. Jika otak hanya mampu berpikir tentang rasa maka hati benar-benar bisa
merasa. Kemampuan otak untuk berpikir tentang rasa biasa orang kenal dengan
istilah kecerdasan emosional. Namun, emosi-emosi negatif seperti benci, dendam,
tamak, sombong, marah juga emosi-emosi positif letaknya di hati. Otak hanya
mampu berpikir tentang keadilan, kejujuran, kebersamaan dst yang kemudian orang
kenal dengan istilah kecerdasan spiritual. Namun demikian, sumber-sumber dari
berbagai sifat tersebut sekali lagi bukan berada di otak tetapi terletak di
hati.
Pengalaman-pengalaman nyata tentang keajaiban hati
(jantung) pernah ditulis oleh dr. Khalid bin Abdul Aziz Al Jubair, SpJP, dokter
spesialis bedah dan jantung di Riyadh, Arab Saudi. Pernah suatu kali dia diminta untuk memeriksa pasien yang dinyatakan
meninggal dunia oleh pihak rumah sakit. Dengan stetoskop, dokter Khalid
memeriksa detak jantung jasad tersebut. Ada suara aneh yang dia dengar, “Allahu
Akbar, Allahu Akbar,…” Dia mengira suara itu adalah suara adzan subuh di masjid
tetapi ternyata jam menunjukkan jam satu malam. Sadarlah dia bahwa suara adzan
tersebut didengar dari jantung jasad yang telah meninggal. Ternyata, usut punya
usut orang yang telah meninggal tadi pada saat masih hidup adalah seorang
muadzin. Orang tadi terkenal rajin, datang lebih awal ke masjid, mengkhatamkan
Al Qur’an 3 hari sekali, dan senantiasa menjaga lisannya. Banyak pengalaman lain
yang ditemui dokter Khalid. Pada intinya keadaan jantung seseorang tergantung
dari perbuatan (akhlak, sifat) seseorang.
Berbagai pandangan dan fakta tersebut memberikan
pengertian kepada kita semua bahwa tidak cukup kemudian menyelesaikan sumber
permasalah dengan logika (pikiran). Dibutuhkan konsep yang lebih dalam tentang
motivasi lebih dari berbagai konsep kecerdasan yang ada. Termasuk pula dalam
konsep psikoterapi, tidak cukup seseorang berpikir positif kemudian dia
benar-benar menikmati keadaan positif. Butuh hal lebih dalam daripada logika
yaitu rasa. Karena rasa ternyata mengawali segalanya.
Terbuka kemungkinan penanganan kasus-kasus klinis dengan
memfokuskan pada rasa juga pengembangan diri meraih mimpi dengan melibatkan
emosi. Orang mengenal istilah olah rasa selain ada konsep olah raga dan olah
pikir. Pelepasan-pelepasan emosi-emosi negatif akan menghasilkan pikiran yang
positif dan perilaku yang baik. Sebagaimana pandangan dalam agama bahwa ada
segumpal darah dalam rongga dada yang menentukan baik-buruknya anggota tubuh
yang lain. Dialah
hati, orang mengenalnya dengan sebutan jantung.